Jumat, 14 Desember 2012

Abu Nawas danTelur Unta



Suatu ketika Raja Harun Al Rasyid terkena penyakit aneh. Tubuh Raja Harun Al Rasyid terasa kaku dan pegal. Suhu badannya panas dan tak kuat untuk melangkah. Penyakitnya itu membuat sang raja tidak mau makan sehingga sakitnya bertambah parah.

Berbagai tabib sudah berdatangan mengobatinya tetapi tetap saja sakit. Obat pun banyak yang ia minum tapi tetap sama saja hasilnya.

Namun demikian, raja tidak mau menyerah. Ia ingin sembuh. Maka ia pun memerintahkan pengawalnya untuk mengumumkan sebuah sayembara. Barang siapa bias menyembuhkan penyakit sang Raja, maka akan diberikan hadiah.

Berita sayembara itu didengar oleh Abu Nawas. Ia tertarik dengan sayembara ini. Maka tidak lama kemudian, ia pun memutar otak sebentar dan pergi ke istana Raja Harun Al Rasyid.

Sang Raja terkejut ketika melihat Abu Nawas dating hendak mengobati dirinya.

“Hei Abu Nawas, setahuku kau bukan tabib, tapi mengapa kau ikut sayembara ini?.” Heran sang raja.

“He he he..tuan raja, janganlah Anda melihat penampilanku, begini begini aku bias mengobati orang sakit.”

“Benarkah?” kaget sang raja. “Berarti engkau bias menyembuhkan sakitku juga?”
“Oh tentu Raja”, jawab Abu Nawas, “Sebenarnya apa sakit Anda?”

“Aku juga tidak tahu, tapi aku merasa seluruh tubuhku sakit dan badanku panas. Aku tampak lesu Abu Nawas.” keluh sang raja Harun Al Rasyid.

“Ha ha ha ha ha.”Abu Nawas tertawa dengan jenaka.

“Hei Abu Nawas, apa yang lucu?”

“Tidak Tuan, kalau penyakit itu sih gampang sekali menemukan obatnya.” Terang Abu Nawas.

“Sungguh?”, kaget sang raja lagi. “Apa nama obat itu dan dimana saya bias menemukan obat itu?”

“Baiklah saya beritahu Anda,”

“Nama obat itu adalah telur unta. Anda bias mendapatkannya di kota Baghdad ini.”

Mendengar informasi itu sang raja merasa bersemangat ingin segera mendapatkan telur unta itu.

“Hei Abu Nawas, awas jika kau bohong. Akan kuhukum kau!”

“Carilah dulu telur unta itu, jangan asal hokum saja” sanggah Abu Nawas.

Dikisahkan dalam cerita humor ini keesokan harinya sang raja berangkat dengan pengawalnya. Ia memakai baju rakyat biasa karena tidak ingin diketahui bahwa ia seorang raja.

Raja Harun Al Rasyid mengunjungi pasar-pasar yang ada di daerah Baghdad tapi tidak ditemukan telur unta itu.

Raja Harun Al Rasyid tidak mau menyerah ia terus berjalan ke rumah-rumah warga tapi tetap saja ia tidak menemukan telur unta. Semangat Raja Harun Al Rasyid ini sungguh kuat sekali, ia tidak peduli seberapa jauh jarak yang ia tempuh untuk mencari telur unta. Hingga akhirnya ia sampai di sebuah hutan.

Raja terus berjalan tanpa menghiraukan pengawalnya yang sudah kelelahan. Sambil menggerutu ia tetap berfikir dimanakah telur unta itu berada.

“Awas kau Abu Nawas, kalau aku tidak menemukan telur itu akan kuhukum kau!” Gerutu sang raja. “Pengawal bersiaplah menghukum Abu Nawas besok!”

“Siap raja”, kata pengawal yang sudah kelelahan, “tapi lebih baik kita pulang saja sekarang. Memang sepertinya kita tidak menemukan telur itu.”

Raja Harun Al Rasyid pun mempertimbangkan saran pengawalnya, namun beberapa saat kemudian ia melihat seorang kakek yang sedang membawa ranting.

“Tunggu dulu pengawal, kita coba tanyakan kepada satu orang lagi.” seru raja Harun Al Rasyid.

Sang Raja menghampiri kakek yang membawa ranting itu.melihat kondisinya yang sudah tua ia amat kasihan, maka ia pun menawarkan jasanya untuk membawakan kayu-kayu itu.

Setelah sampai dirumahnya, Sang kakek mengucapkan terima kasih kepada Raja Harun Al-Rasyid yang ia tidak menyangka bahwa ia adalah seorang raja.

“Terima kasih cuk, semoga Allah membalas kebaikan Cucuk”

“Sama-sama kek”, jawab Raja Harun Al Rasyid.

“Oh iya kek, saya mau bertanya, apakah kakek punya telur unta?”tanya raja Haru Al Rasyid pada si kakek.

“Telur unta?” sang kakek kemudian berfikir sejenak.

“Ha Ha Ha Ha Ha..”tawa sang kakek. Raja Harun Al Rasyid pun keheranan dan bertanya kepada sang kakek.

“Apa saya salah kek?”tanya Raja harun Al Rasyid keheranan. “bias Anda jelaskan?”

“Cuk, di dunia ini mana ada telur unta. Setiap hewan yang bertelinga itu melahirkan bukan bertelur. Jadi mana ada telur unta.”

Mendengar penjelasan dari sang kakek membuat sang raja dan pengawalnya tersentak kaget.

“Benar juga mana ada telur unta. Unta kan binatang yang melahirkan bukan bertelur.”gumam sang raja.

“Awas kau Abu Nawas!!”


Keesokan harinya sang raja dengan perasaan kesal menunggu kedatangan Abu Nawas yang telah mengerjainya. Dia mondar-mandir kesana kemari sambil mulutnya komat-kamit.

“Awas kau Abu Nawas! Awas kau Abu Nawas!”

Beberapa saat kemudian, Abu Nawas datang. Ia member senyum jenaka kepada Raja Harun Al Rasyid.Raja Harun Al Rasyid langsung memarahinya.

“Hai kau Abu Nawas, beraninya mengerjaiku. Aku tidak terima ini. Sesuai dengan kesepakatan kita bahwa aku akan menghukummu karena kau telah membohongiku. Mana ada telur unta?, unta itu hewan yang melahirkan bukan bertelur.”

“Anda benar Tuan Raja”, sahut Abu Nawas membenarkan pernyataan raja Harun Al Rasyid telur unta itu“ Sebenarnya tidak ada, unta hewan yang melahirkan bukan bertelur.” Sambung Abu Nawas dengan ceritanya.

“Lantas, mengapa kau menyuruhku untuk mencari telur itu?” sanggah sang raja “pokoknya sekarang kamu harus dihukum.”

“Tunggu dulu, tuan raja, sebelum saya dihukum, saya ingin bertanya.”

“Tanya apa?”

“Bagaimana kondisi tubuh tuan raja hari ini?” tanya Abu Nawas.

“Kondisi badanku,” sahut raja Harun Al Rasyid, “aku merasa tubuhku tidak pegal dan sakit seperti kemarin-kemarin. Suhu badanku pun turun,” Sang raja pun terdiam sejenak.

Abu Nawas, aku sudah sembuh, penyakitku hilang, penyakitku hilang Abu Nawas..” raja amat gembira.

“Aku tahu, perjalananku yang amat jauh kemarin telah membuat tubuh-tubuhku yang tadinya jarang bergerak menjadi bergerak dan itu membuat aliran darahku yang semula beku menjadi lancer kembali. Benar Abu Nawas, itu penyebabnya, terima kasih Abu Nawas.” sahut raja Harun Al Rasyid.

“Benar tuan, kata Abu Nawas, tubuh yang tidak dibiasakan bergerak akan membuat darah membeku dan akhirnya menjadi penyakit. Maka dari itu raja, rajinlah bergerak.”

“Ya, memang akhir-akhir ini aku sering dikamar jarang bergerak. Kemudian aku juga banyak makan. Mungkin ini yang menyebabkan aku sakit.” kata sang Raja Harun Al Rasyid. “Abu Nawas maafkan aku telah memarahimu. Aku tidak akan menghukummu tapi aku akan memberikanmu hadiah karena telah memberiku obat yang luar biasa.”

“Terima kasih tuan raja.” Jawab Abu Nawas singkat.

Banyak makna dan pembelajaran yang kita bias dapat dari Cerita Jenaka Abu Nawas dan telur Unta tersebut, salah satunya adalah membiasakan diri untuk tidak santai dan bermalas-malasan karena dapat mendatangkan berbagai macam penyakit. Semoga salah satu dari Koleksi Cerita Abu Nawas ini bermanfaat.

Baca cerita Abu Nawas lainnya disini

Sabtu, 08 Desember 2012

Biografi Abu Nawas


Abu Nawas bernama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya.
Ayahnya bernama Hani al-Hakam. Beliau lelaki keturunan Arab yang merupakan anggota legion militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kainwol. Sejak kecil ia sudah menjadi yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Yaqub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, danAzhar bin Saad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Dalam Kumpulan Cerita Abu Nawas diceritakan Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Biografi Abu Nawas diceritakan juga dalam Al-Wasithfil Adabil Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid.Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (syairulbilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya kedalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi keMesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat.Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bias ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan - tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meninggalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811M. Sementara yang lain tahun 198H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad. (berbagai sumber)

Demikianlah sekilas tentang biografi Abu Nawas, yang dapat penulis jelaskan, semoga artikel ini bermanfaat dan dapat menjadikan kita lebih mengenal sosok si Pintar dari negeri Baghdad. Dilain kesempatan nantikan artikel selanjutnya mengenai Kumpulan Cerita Abu Nawas.